ANJURAN UNTUK MENGHADIRI MAJELIS PARA ULAMA

*Al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan, "Majelis dakwah kepada Allah dan dzikir orang-orang saleh merupakan sabun dan air bagi hati. Bagi hati yang memiliki kotoran yang tebal maka majelis itu menjadi sabun baginya. Sedangkan untuk hati yang hidup, majelis itu menjadi air yang memberikan minum dan menambah hidup baginya." 
Beliau juga mengatakan, "Tidaklah dibuat suatu majelis ilmu atau dzikir kepada Allah, melainkan Dia buatkan dari majelis itu awan putih, lalu Dia giring menuju kaum yang tak pernah melakukan kebaikan sama sekali lalu menghujankannya, sehingga mereka semua menjadi orang-orang yang bahagia."
Beliau juga mengatakan, " Masuklah ke dalam keberkahan orang-orang saleh. Seandainya engkau duduk di dekat mereka dalam keadaan lalai tetapi mempunyai niat yang baik, mereka akan memberimu yang ada pada mereka. Mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara, berkat mereka, orang yang bergaul dengan mereka."
* Ka'ab al-Ahbar mengatakan, "Seandainya pahala majelis-majelis ilmu tampak oleh manusia, niscaya mereka akan berbunuh-bunuhan untuk mendapatkannya, sampai-sampai orang yang memiliki kekuasaan meninggalkan kekuasaannya dan orang yang memiliki pasar meninggalkan pasarnya."
* Atha' mengatakan, "Sebuah majelis ilmu menghapuskan tujuh puluh majelis senda gurau."

PEMBERIAN BERGANTUNG PADA CARA PANDANG


Al-Imam as-Syaikh Ali bin Abu bakar as-Sakran Ba ‘Alawi mengatakan: “Diriwayatkan bahwa seorang syaikh besar, Muhammad bin Husain al-Bajaliy mengatakan, ‘Aku pernah melihat Rasulullah Saw. di dalam mimpi lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah amal yang paling utama ?’ Beliau menjawab, ‘Engkau berada di hadapan seorang wali Allah meskipun hanya sekadar orang yang memerah susu kambing atau memanggang telur, adalah lebih utama daripada engkau beribadah hingga terpotong-potong.’ Lalu aku bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah wali yang masih hidup atau yang telah wafat?’ Beliau menjawab, ‘Baik yang masih hidup atau yang telah wafat.’”

 * Sayyidina al-‘Arifbillah Abdullah bin Muhsin al-Attas pernah di tanya tentang makna ucapan di atas, yaitu, “Engkau berada di hadapan seorang wali Allah baik yang masih hidup maupun yang telah wafat adalah lebih baik daripada beribadah hingga terpotong-potong.” Maka beliau berkata, “Keutamaan ini tidak akan didapatkan kecuali apabila seseorang berada di hadapan seorang wali dan dia tahu bahwa orang tersebut adalah wali Allah dengan ditampakkan kepadanya oleh Allah kewaliannya.” Kemudian seseorang berkata kepadanya, “Ini merupakan suatu masalah.” Maka beliau berkata, “Bukan suatu masalah. Bukanlah Abu Bakar ash-Shiddiq dan Abu Lahab pernah duduk bersama Nabi Saw. dan keduanya makan bersama beliau. Abu Bakar duduk bersama beliau dan dia tahu bahwa beliau adalah Nabi Allah dan Rasul-Nya dengan sebenar-benar pengetahuan. Maka dia mendapatkan yang didapatkannya sehingga menjadi orang yang paling utama. Adapun Abu Lahab, dia juga duduk bersama beliau tetapi tidak tahu bahwa beliau adalah seorang nabi dan rasul. Yang diketahuinya adalah bahwa beliau anak yatim yang diasuh oleh Abu Thalib, seorang laki-laki dari kaum Quraisy, dan anak dari ayah dan ibunya. Maka dia tidak mendapatkan sesuatu sebagaimana yang didapatkan Abu Bakar. Apabila keistimewaan Nabi Saw. saja tidak dapat diperoleh kecuali dengan pengetahuan, lalu bagaimana dengan yang lainnya? Dan jika berada dihadapan seorang wali Allah dengan sungguh-sungguh, maka tidak akan kosong dari suatu manfaat, khususnya bila disertai dengan keyakinan. PEMBERIAN BERGANTUNG PADA CARA PANDANG. Dan ukuran cara pandang menentukan kemampuan menerima.”

 * Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan, “Tidak akan tampak keberkahan seorang saleh atas para sahabatnya melainkan setelah dia mati. Dan pertolongan seorang wali setelah mati, kepada kerabat dan orang-orang yang memohon pertolongannya, lebih banyak daripada ketika masih hidup. Karena, ketika masih hidup dia disibukkan dengan berbagai beban, sedangkan setelah mati, allah menghilangkan segala beban darinya.” * Syaikh Ahmad bin Uqbah bin al-Hadhramiy pernah ditanya, “Apakah pertolongan orang yang masih hidup lebih kuat dibanding orang yang mati?” Beliau menjawab, “Pertolongan orang mati lebih kuat, karena berada dalam hamparan Yang Mahabenar.”

 *Menjelang wafatnya Syaikh Ali al-Muttaqi, muridnya, Syaikh Abdul Wahhab bersedih. Maka beliau berkata kepadanya, “Janganlah engkau bersedih. Kami adalah kaum yang suka menolong para murid setelah wafat sebagaimana menolong mereka ketika masih hidup, bahkan lebih banyak lagi.”